Herman Muchtar dan Dede Farhan Aulawi, Pertemuan Dua Tokoh Pariwisata Jawa Barat - Jalosi.net | Jalur Otoritas Informasi

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Senin, 24 Agustus 2020

Herman Muchtar dan Dede Farhan Aulawi, Pertemuan Dua Tokoh Pariwisata Jawa Barat

Bandung, jalosi.net - Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang sangat terpukul oleh pandemi covid 19 ini, bahkan sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Padahal sektor pariwisata ini juga akan berdampak pada banyak sektor lainnya, baik itu perhotelan, restauran, jasa transportasi, travel agent, UMKM, dan sebagainya. Oleh karena tidak aneh tutupnya usaha pariwisata akan berdampak pada penigkatan jumlah pengangguran karena banyaknya PHK yang sulit dihindari.

Terkait dengan hal tersebut, dua tokoh pariwisata dari Jawa Barat yaitu Herman Muchtar dan Dede Farhan Aulawi melakukan pertemuan untuk mendiskusikan strategi pemulihan sektor pariwisata di masa transisi new normal (adaptasi kebiasaan baru). Secara prinsip kedua tokoh ini sepakat untuk segera membangkitkan gairah pariwisata agar nadi perekonomian masyarakat segera berdenyut kembali.

Herman Muchtar adalah pria kelahiran Dusun Baru Sungaipenuh pada tanggal 4 Juli 1951. Ia merintis usaha dari bawah, dan tangan dinginnya mengantarkan menjadi orang sukses. Berbekal kemauan, disiplin, dan kerja kerasnya, Ia berhasil membangun 3 Hotel Cihampelas di jantung kota Bandung. Prestasi yang membanggakan ia torehkan dalam keberhasilannya untuk membesarkan dan mengharumkan nama baik organisasi dan nama baik Pemerintah dan masyarakat Provinsi Jawa Barat. Diantara organisasi yang dibesarkan olehnya adalah Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADIN) Provinsi Jawa Barat dan BPD PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Provinsi Jawa Barat, serta berbagai organisasi lain yang ia tekuni termasuk organisasi olah raga bidang Karate. Dari sebagian perjalanan hidupnya, banyak ia habiskan di bidang kepariwisataan maka tidak heran ia menjadi salah satu tokoh dan pakar kepariwisataan yang ada di Jawa Barat.

Sementara Dede Farhan Aulawi merupakan pria kelahiran kota Tasikmalaya tahun 1970. Ayahnya seorang pendidik dan ulama terkemuka bernama KH. Imam Burhanuddian, SH (alm) dan ibunya seorang pengusaha konveksi yang sukses. Oleh karenanya tidak heran jika dalam tubuhnya mengalir darah seorang Entrepreneur dan Pemimpin yang religius. Kecintaannya pada dunia pariwisata sudah dibawa sejak kecil, terbukti dengan aktifitasnya sebagai anggota kelompok Pecinta Alam (Phipetala) di SMAN 1 Tasikmlaya. Bahkan meskipun pendidikan formalnya berlatar belakang teknik, tapi tidak menyurutkan semangat belajarnya dengan otodidak dari berbagai buku – buku kepariwisataan, sehingga sebagian temannya mengatakan bahwa buku kepustakaan di bidang kepariwisataanya barangkali lebih banyak dari orang pariwisata sendiri.  Seiring dengan waktu, kecintaannya pada bidang pariwisata mengantarkanya untuk keliling Indonesia dengan menyisir hampir semua pulau – pulau terdepan di wilayah Indonesia. Tak berhenti sampai disana, langkah kakinya pun berkesempatan untuk mengunjungi 2/3 negara – negara di dunia. Dari banyaknya literasi kepariwisataan yang ia miliki, tidak heran ketika dirinya banyak diminta menjadi Konsultan Pengembangan Pariwisata oleh banyak Kepala daerah di Indonesia. Begitupun permintaan sebagai narasumber ataupun trainner di bidang kepariwisataan banyak ia terima dari berbagai kalangan. Atas dedikasi, kompetensi dan kapabilitasnya di bidang pariwisata, akhirnya ia didaulat untuk menjadi Ketua Umum Pegiat Ragam Wisata Nusantara (Prawita). Dengan organisasi yang dipimpinnya ia menggulirkan program Gerakan Nasional Pecinta Pariwisata Indonesia (GENPPARI) yang secara aktif menginventarisir potensi wisata daerah dan pengembangan model – model desa wisata di tanah air. Begitupun dengan jaringan internasional yang dimilikinya, ia aktif menjalin kerjasama dengan kedutaan dan berbagai asosiasi internasional, seperti asosiasi backpacker, asosiasi travel agent, dan sebagainya. Semua ia curahkan untuk kemajuan pariwisata Indonesia.

Kedua Tokoh Kepariwisataan ini menyamakan persepsi dan frekuansi dalam memandang dunia pariwisata sebagai suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai hak setiap orang dapat ditegakkan sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antar bangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.

Sisi lain yang mereka soroti adalah terkait pemenuhan kompetensi SDM kepariwisataan, termasuk para pejabat daerah yang ditugasi dan diamanahi untuk manangani bidang kepariwisataan. Terkadang dengan kewenangan otonominya sering melakukan rotasi dan mutasi pejabat, sehingga sebagian pejabat kepariwisataan belum menguasai subjek kepariwisataan. Di samping masalah kompetensi, kedua tokoh ini juga sepakat terkait kebutuhan penjiwaan (chemistry) di bidang kepariwisataan. Jadi jika ingin dunia pariwisata Indonesia ingin maju, maka harus dipegang oleh orang yang memiliki kompetensi dan chemistry di bidang kepariwisataan. Kalau ia hanya punya kecakapan intelektual saja, tapi tidak memiliki panggilan hati (chemistry) maka ia cenderung untuk menjadi konseptor di ruangan semata. Padahal dunia pariwisata membutuhkan orang yang mau turun dan terjun langsung ke lapangan untuk mengenal betul setiap potensi yang dimiliki. Istilah sederhananya, bagaimana ia bisa memasarkan pariwisata Indonesia, jika ia tidak mengenal produk – produk wisata yang sangat beragam jumlah dan jenisnya.

Terakhir kedua tokoh menyoroti Bab X UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Di bab X tersirat pentingnya mendirikan, mendayagunakan dan mengoptimalkan peran Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) atau Badan Promosi Pariwisata Daerah di Propinsi atau Kabupaten. Namun keberadaannya dinilai masih pincang karena belum semua daerah memiliki Badan Promosi Pariwisata tersebut, padahal sudah diamanatkan oleh UU.  Meskipun ada sebagian daerah yang merasa belum perlu mendirikan karena tidak memiliki potensi wisata, tapi sesungguhnya soal sudut pandang dalam melihat potensi wisata itu sendiri. Di sinilah perlunya kejelian dalam melihat peluang, cara olah dan teknik pemasaran setiap potensi yang dimiliki. Tidak harus sama dengan yang lain, karena karakteristik kepariwisataan justeru kejelian dalam melihat indahnya perbedaan. Lalu kemudian menyangkut besarnya alokasi anggaran yang disiapkan. Juga masalah sudut pandang institusional. Jika badan Promosi Pariwisata dipandang sebagai mitra, maka cenderung akan dikuatkan. Tetapi jika dipandang sebagai kompetitor, maka cenderung akan dilemahkan. Disinilah perlunya membangun kesamaan persepsi masalah strategic partnership di bidang kepariwisataan. (R/er)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad