Lampung: Kasus
kekerasan terhadap Wartawan selama tahun 2017 meningkat dibandingkan
tahun lalu. Berdasarkan catatan AJI Bandar Lampung, tahun ini terjadi Lima
kasus kekerasan, sementara tahun sebelumnya hanya 4 kasus. Dari lima kasus
tersebut, 3 kasus melibatkan anggota Polisi, sisanya kekerasan dilakukan
anggota DPRD dan warga.
Ketua Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Lampung, Padli Ramdan mengatakan, “Tiga kasus kekerasan yang
melibatkan Polisi adalah kasus salah tangkap terhadap Wartawan Trans Lampung
yang meliput kasus penggerebekan Kampung Narkoba di Pesawaran. Kasus pelarangan
liputan dan penggeledahan terhadap dua jurnalis di Way Kanan. Peristiwa ini
melibatkan Kapolres Way Kanan yang saat itu masih dijabat AKBP Budi Asrul.
Kasus terakhir adalah kekerasan yang dilakukan anggota Brimob terhadap jurnalis
Bongkar Post di Lampung Utara. Dalam kasus terakhir ini, pelaku melakukan
kekerasan fisik dengan memukul dan menendang jurnalis.
Tingginya kekerasan
yang melibatkan aparat penagak hukum, terutama Polisi, menjadi tanda tanya
besar. Aparat Kepolisian yang seharusnya melindungi warga, tapi ternyata
menjadi musuh Pers. Padahal aktivitas jurnalistik dilindungi undang-undang dan
seharusnya aparat penegak hukum memahami hal ini.
Dalam dua tahun
terakhir, berdasarkan data kasus kekerasan secara Nasional, Polisi telah
menjadi musuh kebebasan Pers. Polisi banyak menjadi pelaku kekerasan dan
institusi ini juga tidak tuntas menangani beberapa kasus kekerasan yang sudah
dilaporkan ke Polri. Apa lagi jika yang dilaporkan adalah rekan sesama Polisi,
Polri menjadi ragu dan cenderung tidak Profesional dalam menanganinya.
AJI menyoroti bahwa
tingginya angka kasus kekerasan terhadap Wartawan yang melibatkan personel
Polri akibat tidak adanya sanksi tegas yang diberikan kepada pelaku. Ada dua
kasus kekerasan di Lampung, tahun ini, berakhir damai antara pelaku dan korban.
Sementara satu kasus yang melibatkan pejabat menengah polisi, Kapolres, hanya
berakhir dengan pencopotan jabatan dan mutasi. Tidak ada sanksi yang lebih
tegas dari pimpinan Polri di tingkat Provinsi hingga Mabes Polri sehingga bisa
memutus rantai kekerasan.
Tidak adanya sanksi
tegas kepada para pelaku ini juga tidak lepas dari sikap jurnalis dan media
yang dengan mudah berdamai dengan pelaku. Padahal kasus kekerasan terhadap Wartawan
dan penghalang-halangan dalam melakukan kegiatan jurnalistik adalah tindakan
pidana yang melanggar UU Pers Nomor.40 tahun 1999. Pilihan untuk memafkan
pelaku merupakan hal yang manusiawi, tapi jangan sampai menghilangkan kasus
pidana sehingga peristiwa serupa tidak berulang kembali. Sikap tegas kepada pelaku
ini penting dilakukan agar kasus kekerasan terhadap Wartawan bisa di stop dan
tidak ada lagi rekan-rekan jurnalis yang menjadi korban atau dihalang-halangi
saat meliput serta mendokumentasikan peristiwa.
Etika Jurnalis
Selain kasus
kekerasan, AJI Bandar Lampung menyoroti sejumlah kasus pelanggaran etika yang
dilakukan oleh Wartawan. Catatan terkait pelanggaran etika ini penting
sebagai bahan evaluasi bersama agar Wartawan bekerja lebih Profesional,
memegang teguh kode etik jurnalistik, dan menjaga independensinya.
Dalam catatan AJI,
jurnalis kerap membuat berita yang tidak cover both side atau tidak
mengonfirmasi pihak yang diberitakan. Konfirmasi ini penting untuk menjaga
keberimbangan tertentu sehingga tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman
media atautrial by the press.
Pelanggaran lain yang
kerap dilakukan adalah tidak segera memuat hak jawab atau klarifikasi dari
narasumber. Padahal Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Hak Jawab dan dalam UU
Pers disebutkan bahwa pers yang tidak melayani hak jawab selain melanggar kode
etik jurnalistik juga dikenakan pidana denda sebesar Rp500 juta.
Dalam beberapa kasus,
kekerasan terhadap Wartawan juga dipicu akibat aktivitas jurnalistik yang tidak
Profesional. Misalnya jurnalis menurunkan berita tanpa konfirmasi atau
terlambat memuat hak jawab narasumber yang merasa nama baiknya dirugikan.
Narasumber kemudian meluapkan kemarahan dan melakukan kekerasan kepada jurnalis
yang dinilai tidak Profesional tersebut.
AJI mengimbau semua
jurnalis untuk bekerja lebih Profesional dan menerapkan kode etik jurnalistik. Mamahami
kode etik dan bekerja Profesional ini penting untuk menjaga marwah Profesi dan
menghindarkan Wartawan dari kasus kekerasan. Jurnalis menuntut Profesi dan
lembaga lain harus Profesional, tapi tuntutan serupa juga berlaku bagi Profesi
Wartawan agar bekerja lebih Profesional.
AJI berharap
masyarakat dan semua pihak bisa menempuh mekanisme hak jawab dan klarfikasi
atas kekeliruan yang dilakukan jurnalis serta media. Masyarakat jangan merespon
berita dengan tindakan kekerasan terhadap Wartawan karena tidak dibenarkan
dalam hukum. Mekanisme di Dewan Pers bisa ditempuh terkait pemberitaan
media.
Setiap kasus kekerasan
terhadap Wartawan harus dilihat secara jernis dan dipahami kronologisnya karena
tidak semua jurnalis layak untuk dibela. Hanya jurnalis yang Profesional dan
bekerja dengan standar etika yang tinggi yang layak dibela ketika menjadi
korban kekerasan.
AJI mengingatkan
kepada jurnalis dan media untuk menghormati hak masyarakat dalam mendapatkan
informasi. Menjadi kewajiban wartawan dan pers untuk menghadirkan berita yang
komprehensif, akurat, kritis, berimbang, dan mengutamakan kepentingan publik. Salam
Independen. (R/jalosi/Rilis AJI Bandar Lampung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar