Jakarta, jalosi.net - Zaman terus berubah dan waktu terus bergulir. Waktu tidak pernah bertanya apakah manusia di zamannya sudah siap atau belum, tetapi kemajuan teknologi sudah pasti membawa banyak perubahan, termasuk perubahan peradaban yang semakin memanjakan manusia yang berkembang saat ini dan nanti. Terakhir dengan telah lahirnya konsep revolusi industri 4.0 yang digagas oleh Prof. Klaus Schwab seorang pakar ekonomi dari Jerman dalam bukunya, “ The Fourth Industrial Revolution “. Inti dari buku tersebut menjelaskan tentang perubahan cara hidup, cara bekerja, dan interaksi satu dengan yang lainnya.
Kemajuan tidak pernah mengalami istirahat, dan perubahan peradaban juga tidak bisa dihentikan. Jangan berfikir karena ada yang belum siap lalu teknologi berhenti sejenak. Tidak pernah dan tidak akan ada kesempatan yang diberikan untuk suatu jalan perubahan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi banyak orang, dan tentu tidak sedikit yang memandang sebagai ancaman zaman karena timbul rasa takut kehilangan pekerjaan misalnya. Meski demikian, tentu tidak semua orang merasa khawatir, karena ada sebagian orang justeru menyambut positif karena munculnya banyak peluang baru yang menumbuhkan cakrawala kesempatan dan bertaburannya bunga – bunga harapan.
Konsep Revolusi Industri 4.0 tidak sekedar berbicara terkait munculnya sistem otomasi industri, karena kalau bicara sistem otomasi sudah berlangsung cukup lama. Tetapi sistem otomasi yang diintegrasikan dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) memunculkan fenomena akhir dari sistem otomasi penuh, dimana sistem atau robot yang diciptakan didesain bisa berfikir seperti manusia, sehingga peran manusia sebagai pekerja konvensional akan berkurang. Hal ini tentu akan memunculkan beberapa permasalahan baru, baik masalah sosial, masalah serapan tenaga kerja, dan lain – lain.
Konsep baru ini tentu memberi dampak positif dan negatif. Dampak positif seperti masalah efisiensi, kecepatan dan keakurasian kerja, hubungan industrial pekerja – pengusaha, kualitas produk, minimnya demo – demo pekerja, munculnya peluang – peluang baru dan lain – lain. Dampak negatifnya tentu terkait masalah pengangguran, kesenjangan ekonomi, kejahatan, dan lain – lain. Jadi di saat jumlah penduduk (angkatan kerja) terus meningkat sementara lapangan kerja tersedia semakin sedikit, maka berbagai masalah akan timbul. Meski demikian, sebenarnya akan muncul peluang – peluang baru bagi generasi yang bisa mengimbanginnya. Persoalannya adalah apakah kompetensi mayoritas angkatan kerja saat itu memenuhi kualifikasi yang dipersyaratankan sesuai tuntutan zamannya ???
Jadi pokok persoalan SDM yang akan terjadi di masa depan adalah terkait dengan apa yang disebut *Talent Gap*, yaitu kurangnya kemampuan yang sesuai dengan jenis pekerjaan pada masa yang akan datang. Jadi kemampuan atau kompetensi yang dimiliki apa (X), sementara tuntutan pekerjaan masa depan menuntut kemampuan apa (Y). Gap antara X dan Y inilah yang menjadi pokok persoalan masa depan SDM. Bukan hanya di Indonesia tetapi bisa terjadi di banyak negara. Bukan hanya di bidang sektor swasta, tetapi bisa juga di bidang – bidang pelayanan publik pemerintahan lainnya. Termasuk ketersediaan produk hukum yang bisa menaungi dan memprediksi permasalahan – permasalahan hukum yang mungkin terjadi di masa depan. Di dalam adagium hukum, ada istilah *het recht hink achter de feiten aan* yang artinya “ hukum selalu berjalan di belakang peristiwanya “. Jadi ada kejadian atau timbul masalah dulu, baru ribut dan sibuk memikirkan aturan mainnya. (R/jalosi/ist/dfa/er)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar